BAB. I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak usia
dini anak sudah dikenalkan menggambar. Dalam pembelajaran di TK
kebanyakan guru kurang memperhatikan hasil belajar anak terhadap
pembelajaran yang satu ini. Guru sering menggunakan menggambar sebagai
pembelajaran relaksasi pada anak tanpa memperhatikan hasil karya anak
sehingga didapati hasil karya anak dalam pembelajaran menggambar
terkesan tanpa arahan.
Pada prinsipnya kegiatan menggambar yang
dilakukan oleh anak merupakan kegiatan naluriah, seperti halnya kegiatan
makan, minum, berbicara, dan bercerita kepada orang lain. Kegiatan
menggambar bersamaan dengan kegiatan orang lain seperti memilih dan
mengenakan pakaian yang dilakukan oleh anak. Rasa seni dimulai dengan
bagaimana anak bisa menata benda-benda disekitarnya. Jika hal tersebut
tidak dilakukan oleh anak, maka pendidik perlu segera mendidik dan
membimbingnya.
Ditjen Dikdasmen, (2006), tentang standar kompetensi
kelompok B, menyebutkan bahwa anak mampu mengekspresikan diri dan
berkreasi dengan berbagai gagasan, imajinasi dan menggunakan berbagai
media/bahan menjadi suatu karya seni. Kemudian dalam hasil belajar anak,
diharapkan agar dapat menggambar sederhana dengan berbagai media
seperti arang, kapur, crayon, pensil warna, pastel dan lain-lain. Untuk
saat ini tuntutan dari kurikulum tersebut belum bisa direalisasikan di
TK Melati
Khusus dalam pembelajaran menggambar di TK Melati anak
masih kurang kreatif dalam menggambar. Hal ini terlihat dari hasil
karya anak dalam menggambar. Coretan yang dihasilkan anak masih
berkesan umum dan menampilkan gambar yang sama setiap pengerjaan tugas
menggambar. Misal: anak hanya menggambar rumah saja, anak menggambar
gunung saja, atau anak menggambar pohon saja. Selain itu ketika anak
diberikan tugas untuk mengambar suasana kelas sering ramai, anak sering
jalan-jalan sendiri dan tidak serius dalam menggambar.
Melihat
kondisi yang seperti ini penulis mencoba meningkatkan kreatifitas anak
dalam menggambar melalui pendekatan kontekstual learning. Kepada anak
akan diperlihatkan bentuk asli dalam pembelajaran menggambar.
Pendekatan ini dirasa perlu diterapkan untuk mengganti metode
konvensional dalam pembelajaran menggambar di TK Melati.
B. Perumusan Masalah
Dari
latar belakang di atas, penulis merumuskan masalah penelitian: ”Apakah
pendekatan kontekstual learning dapat digunakan untuk meningkatkan
kreativitas menggambar di kelompok B TK Melati Desa Kenconorejo
Kecamatan Tulis Kabupaten Batang?”.
C. Tujuan Perbaikan
Tujuan
dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kreatifitas anak
dalam menggambar dapat ditingkatkan melalui pendekatan contexstual
learning di anak didik kelompok B TK Melati Desa Kenconorejo Kecamatan
Tulis Kabupaten Batang.
D. Manfaat Perbaikan
1. Anak mampu meningkatkan kreatifitas menggambar yang muaranya tertuju pada peningkatan fungsi otot-otot motorik halus anak.
2. Anak mampu menuangkan ide dan gagasan pada kertas gambar secara baik.
3. Menumbuhkan jiwa seni pada diri anak sejak dini.
4. Guru dapat meningkatkan kemampuan profesionalnya dalam memecahkan masalah menggambar.
5. Sekolah mempunyai cara baru dalam melaksanakan pembelajaran menggambar bebas di TK.
BAB. II
KAJIAN PUSTAKA
Untuk
mewujudkan pembelajaran menggambar yang efektif, guru TK harus memahami
dengan baik arti menggambar dan penerapannya dalam contextual learning.
Selanjutnya, konsep menggambar dan contexstual learning dibahas seperti
di bawah ini.
A. Pengertian Menggambar
Kreativitas adalah
proses mental yang melibatkan pemunculan gagasan atau konsep baru, atau
hubungan baru antara gagasan dan konsep yang sudah ada.(Wikipedia
Indonesia, 2009). Kreativitas adalah proses timbulnya ide baru,
sedangkan inovasi adalah pengimplementasian ide itu sehingga dapat
merubah dunia (Tanadi Santoso, 2009).
Dalam melakukan sesuatu seperti
menggambar dibutuhkan kreativitas karena kreativitas mampu membelah
batasan dan asumsi dan membuat koneksi pada hal lama yang tidak
berhubungan menjadi sesuatu yang baru. Menggambar tidak hanya sekedar
kegiatan membuat sebuah gambar namun lebih dari itu yaitu sebuah
kegiatan yang menyenangkan bagi anak-anak. Kegiatan untuk menyalurkan
ide dan gagasan kedalam kertas gambar.
Menggambar adalah membuat
gambar. Kegiatan ini dilakukan dengan cara mencoret, menggores,
menorehkan benda tajam ke benda lain dan memberi warna, sehingga
menimbulkan gambar (Hajar Pamadhi dan Evan Sukardi S, 2008).
Menggambar
adalah kegiatan-kegiatan membentuk imajinasi, dengan menggunakan banyak
pilihan tehnik dan alat. Bisa pula menggambar berarti membuat
tanda-tanda tertentu di atas permukaan dengan mengolah goresan dari alat
gambar (Wikipedia Indonesia, 2009).
Kegiatan menggambar dilakukan
dengan kesadaran penuh berupa maksud dan tujuan tertentu maupun sekedar
membuat gambar tanpa arti. Kegiatan ini dimulai dari menggerakkan
tangan untuk mewujudkan sesuatu bentuk gambar secara tidak segaja,
sampai dengan menggambar untuk maksud tertentu. Anak-anak akan merasa
senang setelah menggambar karena hal itu menjadi suatu cara
berkomunikasi kepada orang lain. Apalagi, ketika gambar anak tersebut
ditanggapi oleh orang tua dengan pertanyaan tentang makna dan arti
bentuk gambar yang dihasilkan.
B. Contextual Learning
Bagi
anak normal ketika melihat suatu gambar maka terjadi proses berpikir,
dimana cita-cita dan angan-angannya akan tumbuh terus. Pada saat ini
gambar berfungsi sebagai stimulasi munculnya ide, pikiran maupun gagasan
baru. Gagasan ini selanjutnya mendorong anak untuk berbuat, mengikuti
pola berpikir seperti gambar atau justru muncul ide baru dan menggugah
rasa. Proses ini kadangkala tidak disadari oleh orang tua, sehingga
kritikan atau evaluasi diberikan kepada anak seolah-olah diberikan
kepada orang dewasa.
Sampai saat ini, pendidikan di Indonesia masih
didominasi oleh kelas yang berfokus pada guru sebagai sumber utama
pengetahuan, sehingga ceramah akan menjadi pilihan utama dalam
menentukan strategi belajar. Sehingga sering mengabaikan pengetahuan
awal anak. Untuk itu diperlukan suatu pendekatan belajar yang
memberdayakan anak didik. Salah satu pendekatan yang memberdayakan anak
didik adalah pendekatan kontektual learning.
Contektual learning
dikembangkan oleh The Washington State Concortium for Contextual
Teaching And Learning yang melibatkan 11 perguruan tinggi, 20 sekolah,
dan lembaga-lembaga yang bergerak dalam dunia pendidikan di Amerika
Serikat. Salah satu kegiatannya adalah melatih dan memberi kesempatan
kepada guru-guru dari enam propinsi di Indonesia untuk belajar
pendekatan kontekstual di Amerika Serikat melalui Direktorat SLTP
Depdiknas.
Pendekatan contextual learning merupakan konsep belajar
yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan
situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya degan penerapannya dalam kehidupan mereka
sebagai anggota keluarga dan masyarakat (US Departement of Education)
(dikutip Depdiknas, 2006).
Dalam konteks ini anak perlu mengerti apa
makna belajar, manfaatnya, dalam status apa mereka dan bagaimana
mencapainya. Dengan ini anak akan menyadari bahwa apa yang mereka
pelajari berguna bagi hidupnya nanti. Sehingga akan membuat mereka
memposisikan sebagai diri sendiri yang memerlukan suatu bekal yang
bermanfaat untuk hidupnya nanti dan anak akan berusaha untuk
menanggapinya.
Tugas guru dalam pembelajaran contextual adalah
membantu anak dalam mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih berurusan
dengan strategi daripada memberi informasi. Guru hanya mengelola kelas
sebagai sebuah tim yang bekerja sama untuk menemukan suatu yang baru
bagi anak. Proses belajar mengajar lebih diwarnai student centered
daripada teacher centered. Menurut Depdiknas guru harus melaksanakan
beberapa hal sebagai berikut :
1. Mengkaji konsep atau teori yang akan dipelajari oleh anak.
2. Memahami latar belakang dan pengalaman hidup anak melalui proses pengkajian secara seksama.
3.
Mempelajari lingkungan sekolah dan tempat tinggal anak yang selanjutnya
memilih dan mengiyakan dengan konsep atau teori yang akan dibahas dalam
pembelajaran kontekstual.
4. Merancang pengajaran dengan mengkaitkan
konsep atau teori yang dipelajari dengan mempertimbangkan pengalaman
yang dimiliki anak dan lingkungan hidup mereka.
5. Melaksanakan
penilaian terhadap pemahaman anak, dimana hasilnya nanti dijadikan bahan
refleksi terhadap rencana pembelajaran dan pelaksanaannya.
Depdiknas,
(2006), dalam pengajaran contextual memungkinkan terjadinya lima
bentuk belajar yang penting, yaitu mengaitkan (relating), mengalami
(experiencing), menerapkan (applying), kerjasama (coorperating) dan
mentransfer (transfering).
1. Mengaitkan (relating) adalah strategi
yang paling hebat dan merupakan inti konstruktivisme. Guru menggunakan
strategi ini ketika ia mengkaitkan konsep baru dengan sesuatu yang sudah
dikenal anak. Jadi dengan demikian mengkaitkan apa yang sudah
diketahui anak dengan informasi baru.
2. Mengalami (experiencing)
merupakan inti belajar contextual dimana mengaitkan berarti
menghubungkan informasi baru dengan pengalaman maupun mengetahui
sebelumnya. Belajar dapat terjadi lebih cepat ketika anak dapat
memanipulasi peralatan dan bahan serta melakukan bentuk-betuk penelitian
yang aktif.
3. Menerapkan (applying), anak menerapkan suatu konsep
ketika ia melakukan kegiatan pemecahan masalah. Guru dapat memotivasi
anak dengan memberikan latihan yang realistik dan relevan.
4.
Kerjasama (coorperating), anak yang bekerja secara individu sering tidak
membantu kemajuan yang signifikan. Sebaliknya anak yang bekerja secara
kelompok sering dapat mengatasi masalah yang komplek dengan sedikit
bantuan. Pengalaman kerjasama tidak hanya membantu anak mempelajari
bahan ajar tetapi konsisten dengan dunia nyata.
5. Mentransfer (transfering), peran guru membuat bermacam-macam pengalaman belajar dengan fokus pada pemahaman bukan hapalan.
Menurut Blanchard (dikutip Depdiknas, 2006) ciri-ciri contextual adalah :
1. Menekankan pada pentingnya pemecahan masalah.
2. Kegiatan belajar dilakukan dalam berbagai konteks.
3. Kegiatan belajar dipantau dan diarahkan agar anak dapat belajar mandiri.
4. Mendorong anak untuk belajar dengan temannya dalam kelompok atau secara mandiri
5. Pelajaran menekankan pada konteks kehidupan anak yang berbeda-beda
6. Menggunakan penilaian otentik.
Menurut
Rachmadiarti (2002), suatu proses kegiatan belajar mengajar dapat
dikatakan berorientasi pada kontekstual learning apabila mempunyai tujuh
pilar yaitu :
1. Inkuiri (inquiry)
2. Bertanya (questioning)
3. Kontruktivisme (contruktivism)
4. Masyarakat belajar (learning community)
5. Penilaian autentik (autentic assesment)
6. Refleksi (reflection)
7. Permodelan (modelling)
Menurut
Depdiknas untuk penerapannya, pendekatan contextual memiliki tujuh
komponen utama yaitu: konstruktivisme (contruktivism), menemukan
(inquiry), bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning
community), permodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian
yang sebenarnya (authentic assesment). Adapun tujuh komponen tersebut
sebagai berikut :
1. Konstruktivisme (constructivism)
Kontruktivisme
merupakan landasan berpikir contextual learning and teaching (CTL),
yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal, mengingat
pengetahuan tetapi merupakan suatu proses belajar mengajar dimana siswa
sendiri aktif secara mental membangun pengetahuannya, yang dilandasi
oleh struktur pengetahuan yang dimiliki.
2. Menemukan (inquiry)
Menemukan
merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis konstektual
karena pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh anak diharapkan bukan
hasil mengingat seperangkat fakta-fakta tetapi hasil dari menemukan
sendiri. Kegiatan menemukan (inquiry) merupakan sebuah siklus yang
terdiri dari observasi (observation), bertanya (questioning), mengajukan
dugaan (hiphotesis), pengumpulan data (data gathering), penyimpulan
(conclusion).
3. Bertanya (questioning)
Pengetahuan yang
dimiliki seseorang selalu dimulai dari bertanya. Bertanya merupakan
strategi utama pembelajaran berbasis contextual. Kegiatan bertanya
berguna untuk menggali informasi, menggali pemahaman anak, membangkitkan
respon kepada anak, mengetahui sejauh mana keingintahuan anak,
mengetahui hal-hal yang sudah diketahui anak, memfokuskan perhatian pada
sesuatu yang dikehendaki guru, membangkitkan lebih banyak lagi
pertanyaan dari anak untuk menyegarkan kembali pengetahuan anak.
4. Masyarakat Belajar (learning community)
Konsep
masyarakat belajar menyarankan hasil pembelajaran diperoleh dari hasil
kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dari ’sharing’
antar teman, antar kelompok, dan antar yang tahu ke yang belum tahu.
Masyarakat belajar terjadi apabila ada komunikasi dua arah, dua kelompok
atau lebih yag terlibat dalam komunikasi pembelajaran saling belajar.
5. Permodelan (modelling)
Permodelan
pada dasarnya membahasakan yang dipikirkan, mendemonstrasi bagaimana
guru menginginkan anak didiknya untuk belajar dan melakukan apa yang
guru inginkan agar anak didiknya melakukan. Dalam pembelajaran
kontekstual guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan
melibatkan anak dan juga mendatangkan dari luar.
6. Refleksi (reflection)
Refleksi
merupakan cara berpikir atau respon tentang apa yang baru dipelajari
atau berpikir kebelakang tentang apa yang sudah dilakukan dimasa lalu.
Realisasinya dalam pembelajaran, guru menyisakan waktu sejenak agar anak
didik melakukan refleksi yang berupa pernyataan langsung tentang apa
yang diperoleh hari itu.
7. Penilaian yang sebenarnya (autentic assesment)
Penilaian
adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberi gambaran
mengenai perkembangan belajar anak. Dalam pembelajaran berbasis
kontekstual, gambaran perkembangan belajar anak didik perlu diketahui
guru agar bisa memastikan bahwa anak mengalami pembelajaran yang benar.
Fokus penilaian adalah pada penyelesaian tugas yang relevan dan
kontekstual serta penilaian dilakukan terhadap proses maupun hasil.
BAB. III
PELAKSAAN PERBAIKAN
A. Subjek Penelitian
Perbaikan
pembelajaran dilaksanakan di kelompok B TK Melati Desa Kenconorejo
Kecamatan Tulis Kabupaten Batang tahun pelajaran 2009/2010. Anak didik
kelompok B terdiri dari 14 anak yang terbagi menjadi 7 anak laki-laki
dan 7 anak perempuan. Sekolah terletak di pinggir utara Kota Batang
yang penduduknya bekerja sebagai buruh tani. Kondisi ini menyebabkan
perhatian orang tua terhadap pendidikan anak-anaknya kurang dan motivasi
belajar anak rendah. Disamping itu fasilitas belajar di sekolah juga
kurang memadai. Peneliti adalah guru Kelompok B TK Melati Desa
Kenconorejo Kecamatan Tulis Kabupaten Batang dan pengamat adalah saudara
Ifan Prasetiyo rekan guru dan mahasiswa S1 PG PAUD.
B. Deskripsi Per Siklus
Penulis merencanakan kegiatan perbaikan dengan membuat jadwal kegiatan perbaikan sebagai berikut :
Siklus I
1 SKH 1 dilaksanakan tanggal 27 Oktober 2009
2 SKH 2 dilaksanakan tanggal 28 Oktober 2009
3 SKH 3 dilaksanakan tanggal 29 Oktober 2009
4 SKH 4 dilaksanakan tanggal 30 Oktober 2009
5 SKH 5 dilaksanakan tanggal 31 Oktober 2009
Siklus II
1 SKH 1 dilaksanakan tanggal 03 Nopember 2009
2 SKH 2 dilaksanakan tanggal 04 Nopember 2009
3 SKH 3 dilaksanakan tanggal 05 Nopember 2009
4 SKH 4 dilaksanakan tanggal 06 Nopember 2009
5 SKH 5 dilaksanakan tanggal 07 Nopember 2009
Setelah
rencana perbaikan pembelajaran siklus I disetujui oleh supervisor,
penulis meminta izin ke kepala sekolah untuk melakukan perbaikan
pembelajaran. Untuk mengumpulkan data, penulis meminta bantuan rekan
sejawat. Untuk menyamakan persepsi guru peneliti dan pengamat, sebelum
pelaksanaan perbaikan dimulai, guru peneliti, dan pengamat membicarakan
aspek-aspek perbaikan yang perlu diperhatikan. Dalam pelaksanaannya
rekan sejawat duduk di belakang dan mengamati seluruh jalannya perbaikan
pembelajaran. Untuk mencatat informasi mengenai penampilan perbaikan
pembelajaran ini, pengamat mengisi lembar observasi dan lembar penilaian
(terlampir).
Secara umum prosedur pelaksanaan perbaikan pembelajaran
berjalan melalui tahap-tahap kegiatan awal (apersepsi), kegiatan inti,
dan kegiatan akhir. Secara khusus, kegiatan perbaikan pembelajaran
dilakukan melalui serentetan aktivitas yang tercantum dalam kegiatan
inti RPP I dan RPP II (terlampir). Dalam pelaksanaan perbaikan
pembelajaran siklus I, penulis melakukan aktivitas-aktivitas sebagai
berikut :
SKH 1
Aktivitas-aktivitas perbaikan :
1. Guru mengatakan kepada anak-anak bahwa hari ini akan menggambar.
2. Anak-anak diminta mengikuti guru ke halaman Taman Kanak-Kanak.
3. Guru meminta anak-anak mengamati suasana pagi hari di sekitar lingkungan TK.
4. Setelah dirasa cukup anak-anak mulai menggambar.
5. Kegiatan menggambar dilaksanakan di halaman TK
SKH 2
Aktivitas-aktivitas perbaikan :
1. Guru mengatakan kepada anak-anak bahwa hari ini akan menggambar matahari.
2. Anak-anak diminta mengikuti guru ke halaman Taman Kanak-Kanak.
3. Guru meminta anak-anak untuk melihat matahari sebentar.
4. Setelah dirasa cukup anak-anak mulai menggambar.
5. Kegiatan menggambar dilaksanakan di halaman TK
SKH 3
Aktivitas-aktivitas perbaikan :
1. Guru mengatakan kepada anak-anak bahwa hari ini akan menggambar.
2. Anak-anak diminta mengikuti guru ke dekat pasar.
3. Guru meminta anak-anak mengamati suasana siang hari didekat pasar .
4. Setelah dirasa cukup anak-anak mulai menggambar.
5. Kegiatan menggambar dilaksanakan di dekat pasar.
SKH 4
Aktivitas-aktivitas perbaikan :
1. Guru mengatakan kepada anak-anak bahwa hari ini akan menggambar di dekat sawah.
2. Anak-anak diminta mengikuti guru ke sawah.
3. Guru meminta anak-anak mengamati suasana di sawah.
4. Setelah dirasa cukup anak-anak mulai menggambar.
5. Kegiatan menggambar dilaksanakan di lingkungan dekat sawah.
SKH 5
Aktivitas-aktivitas perbaikan :
1. Guru mengatakan kepada anak-anak bahwa hari ini akan menggambar buah apel.
2. Guru meletakkan buah apel merah dan hijau di meja agar dilihat anak-anak.
3. Guru meminta anak-anak mengamati buah apel tersebut.
4. Setelah dirasa cukup anak-anak mulai menggambar buah apel.
5. Kegiatan menggambar dilaksanakan di kelas.
Pada
siklus II penulis menyusun aktivitas-aktivitas perbaikan pembelajaran
sebagai perbaikan atau peningkatan pelaksanaan perbaikan pembelajaran
siklus I. Aktivitas-aktivitas perbaikan pembelajaran yang dilakukan
sebagai berikut :
SKH 1
Aktivitas-aktivitas perbaikan :
1. Guru mengatakan kepada anak-anak bahwa hari ini akan menggambar bunga matahari.
2. Anak-anak diminta mengikuti guru ke halaman Rumah Pak Tarto.
3. Guru meminta anak-anak mengamati bunga matahari di halaman rumah Pak Tarto.
4. Setelah dirasa cukup anak-anak mulai menggambar bunga matahari.
5. Kegiatan menggambar dilaksanakan di halaman rumah Pak Tarto.
6. Guru menungui anak-anak saat menggambar.
SKH 2
Aktivitas-aktivitas perbaikan :
1. Guru mengatakan kepada anak-anak bahwa hari ini akan menggambar roti donat.
2. Guru memperlihatkan kepada anak-anak roti donat dan meminta anak-anak untuk mencicipi sedikit.
3. Anak-anak mengamati roti donat yang telah di makan.
4. Setelah dirasa cukup anak-anak mulai menggambar roti donat.
5. Kegiatan menggambar dilaksanakan di kelas.
6. Guru menungui anak-anak saat menggambar.
SKH 3
Aktivitas-aktivitas perbaikan :
1. Guru mengatakan kepada anak-anak bahwa hari ini akan menggambar pohon cemara.
2. Guru mengajak anak-anak ke kebun Pak Kardi.
3. Anak-anak mengamati pohon cemara di kebun.
4. Setelah dirasa cukup anak-anak mulai menggambar pohon cemara.
5. Kegiatan menggambar dilaksanakan di kebun.
6. Guru menungui anak-anak saat menggambar.
SKH 4
Aktivitas-aktivitas perbaikan :
1. Guru mengatakan kepada anak-anak bahwa hari ini akan menggambar televisi.
2. Guru mengajak anak-anak ke rumah Bu Wati.
3. Anak-anak mengamati televisi di rumah Bu Wati.
4. Setelah dirasa cukup anak-anak mulai menggambar televisi.
5. Kegiatan menggambar dilaksanakan di ruang tengah rumah Bu Wati.
6. Guru menungui anak-anak saat menggambar.
SKH 5
Aktivitas-aktivitas perbaikan:
1. Guru mengatakan kepada anak-anak bahwa hari ini akan menggambar suasana di sawah.
2. Guru mengajak anak-anak ke sawah di depan TK.
3. Anak-anak mengamati sawah yang saat ini kering.
4. Setelah dirasa cukup anak-anak mulai menggambar sawah.
5. Kegiatan menggambar di sekitar area pesawahan.
6. Guru menungui anak-anak saat menggambar.
Setelah
perbaikan pembelajaran pada masing-masing siklus selesai, penulis dan
pengamat melakukan dialog mengenai pelaksanaan perbaikan. Hasil dialog
ini menjadi bahan refleksi bagi penulis. Penampilan aktivitas perbaikan
yang telah baik dipertahankan dan yang belum baik ditingkatkan pada
siklus berikutnya.
Pada siklus I, penampilan aktivitas perbaikan yang telah baik meliputi :
1. Menggambar suasana pagi hari, nilai 4.
2. Menggambar matahari, nilai 4.
3. Menggambar suasana siang hari, nilai 4.
4. Menggambar suasana di sawah, nilai 4.
5. Menggambar Apel, nilai 4.
Sedangkan aktivitas yang menjadi pusat perbaikan pada siklus II adalah:
1. Menggambar bunga matahari, nilai 4.
2. Menggambar roti donat, nilai 4.
3. Menggambar pohon cemara, nilai 4.
4. Menggambar televisi, nilai 4.
5. Menggambar suasana di Sawah, nilai 5.
Pada
akhir siklus II, ditemukan pelaksanaan aktivitas-aktivitas telah
berjalan dengan baik, dengan nilai rata-rata 4,2 (dalam skala1-5). Oleh
karena itu perbaikan pembelajaran dianggap selesai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar